Searching

October 09, 2007

MENGENAL SISTEM KLASIFIKASI (bagian I)

Oleh: abyb

Klasifikasi mempunyai peranan yang sangat vital bagi sebuah perpustakaan. Klasifikasi berasal dari bahasa latin “classis”, yaitu suatu proses pengelompokan, yang berarti mengumpulkan benda/entitas yang sama serta memisahkan benda/entitas yang berbeda, sehingga memudahkan dalam mencari dan menemukannya kembali.
Pengelompokan koleksi perpustakaan (klasifikasi) pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Klasifikasi artifisial, yakni cara pengelompokan koleksi berdasarkan ukuran, warna maupun kondisi fisiknya
2. Klasifikasi fundamental, yaitu cara pengelompokan koleksi berdasarkan subjek yang terkandung didalamnya.

Fungsi klasifikasi di perpustakaan adalah:
1. sebagai sarana pengaturan pustaka di rak untuk membantu pemakai mengidentifikasi dan melokalisasi sebuah dokumen berdasarkan nomor panggil serta mengelompokkan semua dokumen sejenis menjadi satu, sehingga memudahkan pemakai dalam mencari dokumen yang diinginkan.
2. Sebagai saran penyusunan entri bibliografis dalam katalog tercetak, bibliografi dan indeks dalam suatu tata susunan yang sistematis.

Ada berbagai macam sistem klasifikasi yang digunakan di perpustakaan, misalnya Universal decimal classification (UDC), Dewey Decimal Classification (DDC), Library of Congress Classification (LCC), National Library of Medicine Classification (NLMC) dll.
Pada artikel ini akan dibahas lebih dulu sistem klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC).

I. Dewey Decimal Classification (DDC)
DDC diciptakan oleh Melvil Louis Kossuth Dewey (1851-1931) pada tahun 1873 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1876 dalam bentuk sebuah pamflet berjudul “A Classification and subject index for cataloguing and arranging the books and pamphlets of a library” dengan tebal 44 halaman, berisi pendahuluan, bagan untuk 10 kelas utama yang dibagi secara desimal menjadi 1000 katagori bernomor 000-999 serta dilengkapi indeks subjek menurut abjad. Pembagian 10 kelas utama merupakan perbaikan dari sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh WT Harris pada tahun 1870

000 – karya umum
100 – Filsafat,
200 – Agama
300 – Ilmu-ilmu sosial
4 00 – Bahasa
500 – Ilmu pengetahuan murni
600 – Ilmu pengetahuan terapan/ teknologi
700 – Seni, olah raga
800 – Kesusastraan
900 – Geografi, sejarah

10 kelas utama tersebut dibagi-bagi lagi menjadi subjek yang lebih kecil (divisi), kemudian dibagi lagi menjadi subdivisi. Pembagian ini masih sangat mungkin untuk terus dikembangkan. (bersambung)

October 08, 2007

Qua Vadis Perpustakaan?

oleh: Abyb

P
erubahan senantiasa terjadi di dunia ini. Ia merupakan hukum alam (sunatullah) yang terjadi dalam kehidupan manusia yang merupakan pelaku dari perubahan tersebut. Sebagai pelaku perubahan, manusialah yang menentukan kemana arah perubahan itu akan menuju. Firman Allah dalam Al-Qur’an “…Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri.”

Memasuki era globalisasi, industri telekomunikasi dan informasi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dunia saat ini sudah semakin menyempit, sehingga orang mengumpamakannya sebagai “kampung besar”. Futurolog Alvin Tofler mengatakan bahwa menguasai informasi merupakan syarat mutlak suatu bangsa untuk menjadi pemenang di tengah dunia yang dipenuhi oleh deru persaingan.3 Oleh karena itu mereka yang tidak dapat mengikuti perkembangan tersebut akan semakin jauh tertinggal, sehingga jalan terbaik adalah dengan mengikuti perkembangan tersebut, “The world is changing and the only way to survive is adapting to this change”.

Perpustakaan merupakan institusi yang perkembangannya berkaitan erat dengan perkembangan informasi. International Federation of Library Asssociations and Institutions (IFLA) mendefinisikan perpustakaan sebagai kumpulan materi tercetak dan media non cetak dan atau sumber informasi dalam komputer yang disusun secara sistematis untuk digunakan pemakai. Dari definisi ini kita sudah bisa membayangkan bahwa gambaran perpustakaan di masa kini berbeda dengan gambaran perpustakaan masa lalu (tradisional), apalagi di masa depan.

Seiring dengan perkembangan peradaban dan kebudayaaan manusia, perpustakaan juga mengalami perkembangan. Pada mulanya konsep perpustakaan masih sangat sederhana, karena hanya berupa kumpulan ukiran dan gambar yang dipahatkan pada dinding, tablet atau papyrus, kemudian mulai dipakainya kulit binatang (parchmen) sebagai bahan tulis dan ditemukannya kertas yang membuat perkembangan buku sebagai media penyimpanan informasi menjadi koleksi utama perpustakaan.
Dengan perkembangan teknologi informasi, maka koleksi perpustakaan tidak hanya dalam bentuk buku saja, tetapi juga dalam bentuk kaset audio, compact disc dan file-file digital yang merupakan produk dari teknologi informasi. Meskipun demikian, keberadaan buku masih dipertahankan, karena buku berkaitan erat dengan budaya/ minat baca masyarakat, disamping adanya keasyikan tersendiri bagi banyak orang untuk menikmati buku seperti halnya keberadaan makanan tradisional yang tetap lestari

Saat ini, perkembangan teknologi informasi telah memberikan dampak yang sangat luas terhadap dunia perpustakaan. Sejalan dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi (ICT : Information and Communication Technology), Perpustakaan juga terus mengalami perkembangan dari bentuk perpustakaan tradisional yang koleksinya hanya berwujud buku, berkembang menjadi perpustakaan modern yang mulai mengunakan bantuan komputer (sebagai salah satu hal yang penting dalam teknologi informasi) dalam pelayanannya, sehingga kemudian muncul istilah perpustakan digital (Digital library) dimana koleksinya tidak hanya dalam bentuk buku (baca: kertas) tetapi juga dalam bentuk file-file digital.
Dalam perkembangan terkini, muncul istilah perpustakaan maya (virtual library) dimana koleksinya dikemas dalam bentuk digital (e-document) yang dapat diakses melalui internet (International Network) yang merupakan jaringan kerjasama global yang menyatukan jaringan-jaringan komputer lokal yang saling berhubungan satu dengan yang lain, sehingga tanpa harus pergi ke Amerika misalnya, kita dapat dengan bebas mengakses koleksi Perpustakaan Library of Conggres, atau mengakses jurnal ilmiah untuk mencari artikel yang kita inginkan, alangkah menyenangkan bukan?

Melihat arah kecenderungan perkembangan perpustakaan yang seperti itu, maka perpustakaan masa depan haruslah menyediakan berbagai fasilitas dan perangkat teknologi yang lengkap agar tetap dapat survive, disamping didukung oleh SDM perpustakaan (baca: pustakawan) yang berkualitas.

Berkaitan dengan penyediaan SDM perpustakaan tersebut, maka seyogyanya setiap lembaga/institusi pendidikan perpustakaan dan informasi menjadikan kemampuan dalam teknologi informasi menjadi kualifikasi standar dari peserta didiknya. Dengan kata lain teknologi informasi harus menjadi kurikulum utama dalam pendidikan calon-calon pengelola perpustakaan di masa depan, lalu “Sudah siapkah institusi/lembaga pendidikan perpustakaan dan informasi mengantisipasi hal ini?”
Wallahu alam.